April 10, 2009
oleh Bu Ambar
Judul tulisan ini adalah kelanjutan tulisan saya di blog “All about Music” yang berjudul “Kontes Menyanyi dalam Kontes Politik”.
Saat saya menulis catatan ini, pecoblosan (pencontrengan) telah lewat sehari yang lalu. Dari quick count sementara menunjukkan partai milik SBY (Demokrat) mendapatkan 20 % lebih, Partai milik Megawati 14,4 % , dan Golkar `14 %. Tapi, saya yakin hasil akhir tak jauh dari angka-angka itu. Perkiraan itu sudah gembar-gembor sebelumnya oleh para pengamat politik, sehingga lawan-lawan politik SBY jadi panik.
Tentu saja saya bukan pengamat politik, walaupun setiap hari nontonnya berita politik. Saya lebih suka menilai dan menggambarkan pentas polotik ini dengan pentas dunia seni pertunjukan. Pada tulisan terdahulu saya gambarkan kontes pertarungan pilpres 2004 antara SBY dan Megawati seperti kontes menyanyi di AFI. Dan, SBY seperti Fery yang menang dalam kontes menyanyi tersebut. Kontes itu juga diibartakan dengan pertunjukan sinetron di mana SBY diibartakan menjadi tokoh protagonis, menjadi bintang yang dielukan karena sikapnya yang santun, fisiknya yang mungkin ‘diidolakan’ para ibu-ibu dan remaja putri, tanpa perlawanan berarti dalam situasi politik yang seolah teraniaya. Persis seperti cerita melankolis dalam sinetron kita.
Dalam pemilihan 2009, khususnya PILEG, nampaknya cerita itu sedikit mirip, kalau tidak dikatakan terulang kembali. Di samping bernyanyi-nyanyi di panggung, yang umumnya lagu-lagu yang slow, ia tetap bersikap santun, sementara semua lawan-lawan politiknya hampir berwajah kurang bersahabat, walaupun semua isinya kritikan. Sayang sekali, SBY yang memang sudah persiapkan semua amunisi untuk menghadapi semua serangan lawan politiknya yang benar-benar seperti ” mengeroyoknya”. Tidak bisa dielakan lagi, perang urat syaraf terjadi. Dengan taktiknya, sang ahli strategi ini telah mengubah dan menambah tameng yang berdiri berjejer di depan SBY. Mereka adalah yang sudah sedikit happy, karena kebijakan-kebijakan SBY yang mungkin dianggap mereka telah dirasakan secara langsung. Mereka akan tetap berdiri di depan SBY membelanya sampai yang dibela ini masih memberi jaminan atau kepastian dengan apa yang ia harapkan. Mereka tidak mau apa yang jadi “jatahnya” hilang. Sayang sekali lawan polotik tidak membaca secara cermat tentang ini. Saya yakin mereka yang kalah perang akan cari lagi cara-cara untuk melawannya, bila perlu protes untuk pemilu ulang karena pemilu pileg ini memang sangat kisruh.
Pada hari-hari terakhir masa kampanye Megawati nampak melunak. Ada keceriaan di wajahnya. Lagu-lagu yang dibawakan pun lagu-lagu melankolis tahun 80-an yang disukai para ibu-ibu. Mungkin karena hampir selesainya masa kampanye, sehingga ia membayangkan kebahagiaan menjelang masa pencontrengan dan kemenangan yang akan diraihnya. Sayang, nasi sudah jadi bubur, lagi-lagi partainya kuarang suara (bukan kalah loh) .
Inilah yang disayangkan, mengapa Megawati tiba-tiba saat itu mengeluarkan “iklan terlarang” yang seolah-olah mendukung kebijakan milik SBY. Bagaimana pun tinggi kualitas bahasanya, masyarakat terutama wong cilik akan membaca Megawati telah berubah bahkan ada kesan plin-plan (ini kata para pengamat loh), walaupun di Gelora Senayan, ia menyanyi lagu “Aku Masih Seperti yang Dulu” milik Pance dan berwajah ceria. Dan, walaupun penghayatannya salah. Lagu itu seharusnya dinyanyikan dengan perasaan, semelankoles lagunya. Tidak boleh banyak senyum dan harus hafal. Tetapi Megawati melanggar itu semua. Itu sih penilaian kalau saya jadi juri menyanyi. Antara lagu, syair dan pembawaan harus senafas, he..he..he… Kalau suara suara sih.. gak penting itu kan bukan kontes menyanyi beneran. Lihat SBY, apa suaranya bagus? Tidak juga. Gak tahu mengapa is rajin banget bikin lagu dan album lagu ciptannya. Walaupun sudah menjadi komposer, dan artis yang sesungguhnya, semua orang yang tahu tentang musik akan mengatakan kualitas vokal SBY belum tergolong profesional. Mungkin kalau saya nilai baru 65 skornya. Perlu ada guru vokal yang ngelesi di istana, he..he..he… Wah kaya cerita dongeng ya, kalau ada guru vokal, ngajari nyanyi presiden. Tentu gajinya nanti sekarung, ditambah pundi-pundi emas yang jumlanya tak terbatas, he…he…hee…
Sekali lagi, masyarakat kita, apalagi yang dianggap wong cilik yang sebenarnya, adalah masyarakat melankolis. Masyarakat kita juga orang yang sangat humanis. Kalau merasa ada orang yang menderita di depan mata, walaupun hanya dalam mimpi atau pun cerita, dan walaupun ia sendiri orang tak punya, tetap dirasakan seperti cerita sesungguhnya. Kalau kita amati secara seksama, pada pertengahan kampanye lalu terkesan ada pengeroyokan yang tidak adil. SBY diserang dari berbagai arah. Bahkan, JK, “teman hidupnya” menyatakan diri pisah ranjang. Aduh ….betapa sedihnya … mungkin begitu perasaan orang yang lagi menikmati cerita itu. Seperti cerita gosip di TV, sejak itu para penonton terus penasaran dan ingin terus menonton. Lagi-lagi, dengan wajah yang terlihat bijak dan ramah, SBY menanggapi para “kuli tinta infotairment” menanyakan siapa pasangan yang yang akan menggantikan JK setelah ia menyatakan pisah ranjang, yang disebabkan “orang ketiga”. Sikapnya itulah yang terjadi, kembali mengulang peristiwa Pilpres 2004. Dan, lagi, jadilah SBY yang jadi pemenang. Inilah kehebatan SBY, pinter memanage situasi. pasti akan ada taktik yang lain nanti.
Jangan kuatir, cerita belum selesai. Masih ada Pilpres mendatang, dan SBY belum tentu yang jadi pemenang. Seperti sinetron, cerita bisa berubah. Bukan semata sutradara, bahkan penulis cerita sekalipun. Cerita akan berubah mengikuti penggemarnya, mengikuti ratingnya, hingga bisa juga terjadi “jump of the shark“. Cerita yang tak masuk akal bisa terjadi mengikuti kejadian-kejadian yang akan terjadi menjelang pilpres, bahkan sehari sebelum pencontrengan sekalipuun.
Namun demikin, apa yang terjadi pada pileg kali ini, cukup memberi gambaran bagaimana masyarakat kita. Hasil ini juga menurut pengamat, sudah menunjukkan sikap dan kecerdasan masyarakat kita saat ini. Jangan disalahkan mereka yang tidak mau memilih dan lebih suka berlibur. Mungkin hanya protes pada kelakuan para wakil rakyat yang kadang menjengkelkan. Jadi buat apa memlilih mereka. Sikap mereka lebih baik dari pada memboikot untuk menggagalkan seperti di Papua. Sampai jumpa pada pilpres mendatang.
Sekali lagi, mohon isilah poling yang saya sediakan di sebelah kanan tulisan ini, poling ini dari kita dan untuk kita. Tak ada tujuan politik apapun